RSS

Kode Sumber (Source Code) Website Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia


BAB I

PENDAHULUAN




A. Latar Belakang




Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang   memiliki      sifat tidak    dapat ditawar lagi    (non derogable rights).1  Artinya, hak ini mutlak harus dimiliki setiap      orang, karena          tanpa adanya  hak   untuk   hidup,    maka tidak         ada  hak-hak  asasi lainnya.   Hak   tersebut    juga menandakan setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mengambil hak hidupnya.
Dalam hal ini terdapat beberapa pengecualian seperti untuk tujuan penegakan hukum, sebagaimana yang diatur juga dalam Article 2 European Convention on Human Rights yang menyatakan:



1  I Sriyanto dan Desiree Zuraida,  Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001) hal. 1





protection the right of every person to their life. The article     contains exceptions           for  the  cases  of lawful executions, and deaths as a result of "the use of force which is no more than absolutely necessary" in defending one's self or others, arresting a suspect or fugitive, and suppressing riots or insurrections.2



Pengecualian terhadap  penghilangan hak hidup tidak mencakup pada penghilangan hak hidup seseorang oleh orang lainnya tanpa        ada  alas hak   yang   berdasarkan      ketentuan perundang-undangan     yang berlaku.  Salah   satu contoh penghilangan             hak hidup tanpa alas   hak  adalah   pembunuhan melalui aksi teror. Aksi teror jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma agama. Teror juga telah menunjukan gerakannya  sebagai        tragedi   atas hak asasi
manusia.3

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban           serta  merupakan  salah  satu  ancaman  serius terhadap         kedaulatan setiap negara karena          terorisme   sudah merupakan   kejahatan      yang   bersifat          internasional           yang menimbulkan     bahaya  terhadap       keamanan,         perdamaian dunia




 European Convention on Human Rights, <http://en.wikipedia.org/ European_Convention_on_Human_Rights_files>,  diakses 26 Desember 2006.

3  Abdul Wahid, Sunardi, Muhamad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum (Bandung: PT. Refika Aditama, 2004), hal. 2.





serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan           pemberantasan     secara    berencana dan berkesinambungan      sehingga      hak   asasi     orang banyak  dapat dilindungi          dan dijunjung    tinggi.4   Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yang termaktub dalam Undang-undang         Dasar  1945   yaitu melindungi  segenap   bangsa Indonesia      dan  seluruh tumpah darah   Indonesia, dan untuk memajukan          kesejahteraan   umum,  mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.5
Aksi  terorisme  di  Indonesia  mencuat  ke  permukaan

setelah  terjadinya  Bom  Bali  I  pada  12  Oktober  2002, Peristiwa         ini   tepatnya terjadi di      Sari       Club     dan  Peddy’s Club, Kuta, Bali. Sebelumnya, tercatat juga beberapa aksi teror di Indonesia antara lain kasus Bom Istiqlal pada 19
April 1999, Bom Malam Natal pada 24 Desember 2000 yang

terjadi di dua puluh tiga gereja, Bom di Bursa Efek Jakarta pada      September  2000,  serta  penyanderaan dan  pendudukan




4  Indonesia, Undang-undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-undang, UU No. 15, LN. No. 45 Tahun
2003, TLN. No. 4284, Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme paragraf dua.(a)

5  Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Pembukaan Alinea ke-4.





Perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun yang sama.
Kembali pada kasus Bom Bali  I.    Aksi teror melalui peledakan bom mobil di Jalan Raya Legian Kuta ini semula direncanakan       dilaksanakan       pada     11  September  2002, bertepatan      dengan peringatan   setahun  tragedi    di  Gedung World Trade      Center New York,   Amerika Serikat. Seperti diketahui,     peristiwa    11   September   2002 ini     mengawali “Perang   Global”      terhadap    terorisme   yang dipimpin   oleh Amerika Serikat.        Kebijakan Amerika   Serikat yang  berat sebelah seperti pemunculan jargon “Jihad adalah Terorisme” dalam memerangi      terorisme   telah   menjadi  alasan beberapa kelompok teroris untuk melakukan perlawanan, salah satunya
dilakukan oleh Ali Imron, Ali Gufron, dan Amrozi.6

Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban          untuk  melindungi harkat  dan martabat manusia. Demikian         pula  dalam  hal  perlindungan warga  negara  dari tindakan terorisme. Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warganya dari tindakan atau aksi terorisme adalah



6   “Bom  Bali  Rencananya  untuk  Peringati  Setahun  Bom  WTC”,





melalui  penegakan  hukum,  termasuk  di  dalamnya  upaya menciptakan produk hukum yang sesuai.
Upaya ini  diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun

2002, yang kemudian  disetujui oleh  DPR      menjadi Undang- undang       Nomor  15  Tahun       2003 Tentang Pemberantasan         Tindak Pidana Terorisme.    Diperlukannya   undang-undang ini         karena pemerintah    menyadari      tindak   pidana     terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga      membutuhkan    penanganan   yang  luar  biasa   juga
(extraordinary measures).Undang-undang Nomor  15  Tahun

2003 ini selain mengatur aspek materil juga mengatur aspek formil. Sehingga, undang-undang ini merupakan undang-undang khusus (lex specialis)   dari    Kitab     Undang-undang      Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dengan adanya    undang-undang ini          diharapkan      penyelesaian perkara pidana       yang terkait dengan terorisme       dari  aspek    materil maupun formil dapat segera dilakukan.





7   T.  Nasrullah,  Sepintas  Tinjauan  Yuridis  Baik  Aspek  Hukum Materil               Maupun  Formil  Terhadap Undang-undang  No.  15/2003  Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Makalah Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara” yang diadakan oleh Indonesia Police Watch bersama Polda Metropolitan Jakarta Raya, Selasa 29 Maret, hal. 3.





Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian           merupakan  suatu  proses  pencarian  kebenaran materiil atas suatu peristiwa pidana. Hal ini berbeda jika dibandingkan           proses    penyelesaian  perkara  perdata   yang merupakan           proses  pencarian  kebenaran  formil.  Proses pembuktian sendiri       merupakan        bagian terpenting    dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan.
Hukum  acara  pidana  di  dalam  bidang  pembuktian mengenal  adanya   Alat  Bukti    dan  Barang Bukti,  di     mana keduanya         dipergunakan di      dalam    persidangan untuk membuktikan   tindak    pidana     yang  didakwakan  terhadap terdakwa.      Alat bukti    yang    sah  untuk  diajukan  di depan persidangan,    seperti         yang    diatur   Pasal 184 Undang-undang Nomor   8    tahun      1981     Tentang    Hukum Acara Pidana   (KUHAP)8 adalah:



a.  keterangan saksi b.    keterangan ahli c.  surat
d.  petunjuk
e.  keterangan terdakwa







8    Indonesia, Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. 3209, ps 184. (b)





Pada  perkembangannya,    alat   bukti   sebagaimana  yang diatur        dalam       KUHAP  tidak  lagi    dapat mengakomodir perkembangan  teknologi  informasi,  hal ini  menimbulkan permasalahan baru. Salah satu masalah yang muncul akibat perkembangan        teknologi   informasi    adalah  lahirnya suatu bentuk        kejahatan   baru   yang   sering   disebut   dengan cybercrime, dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi
Arief disebut dengan tindak pidana mayantara.9  Secara garis

besar cybercrime terdiri dari dua jenis, yaitu kejahatan yang menggunakan teknologi informasi (TI) sebagai fasilitas dan kejahatan     yang       menjadikan       sistem  dan  fasilitas TI sebagai sasaran.10
Perkembangan teknologi dan  perkembangan hukum telah

menyebabkan tergesernya bentuk media cetak menjadi bentuk media       digital  (paper  less).  Perlu diperhatikan  dalam kejahatan       dengan   menggunakan   komputer,  bukti  yang  akan mengarahkan       suatu    peristiwa     pidana  adalah  berupa  data elektronik, baik yang berada di dalam komputer itu sendiri




9    Abdul   Wahid,   dan   Muhammad   Labib,   Kejahatan   Mayantara
(Cybercrime), (Bandung: PT. Rafika Aditama 2005), hal. 26.

10   Arif  Pitoyo,  ”Perlunya  Penyempurnaan  Hukum  Pidana  Tangani Cybercrime”,<http://gerbang.jabar.go.id/gerbang/index.php?index=16&idbe rita=680>, diakses 22 Januari 2007.





(hardisk/floppy disc) atau yang merupakan hasil print out, atau      dalam  bentuk  lain  berupa  jejak  (path)  dari  suatu aktivitas pengguna komputer.11
Tentu saja upaya penegakan hukum tidak boleh terhenti

dengan ketidakadaan hukum yang mengatur penggunaan barang bukti     maupun alat  bukti   berupa informasi elektronik di dalam penyelesaian   suatu     peristiwa   hukum.   Selain  itu, proses       mengajukan   dan  proses pembuktian alat  bukti   yang berupa data digital perlu pembahasan tersendiri mengingat alat  bukti    dalam  bentuk  informasi  elektronik  ini serta berkas acara pemeriksaan telah melalui proses digitalisasi dengan proses pengetikan (typing), pemeriksaan (editing), dan    penyimpanan     (storing) dengan  menggunakan    komputer. Namun, hasilnya tetap saja dicetak di atas kertas (printing process). Dengan demikian, diperlukan kejelasan bagaimana mengajukan  dan melakukan  proses     pembuktian terhadap  alat bukti yang berupa data digital.
Proses pembuktian suatu alat bukti yang berupa data digital     ini    juga menyangkut        aspek    validasi data digital yang dijadikan alat  bukti tersebut. Aspek  lain  terkait



11   Edmom  Makarim,  Pengantar  Hukum  Telematika:  Suatu  Kompilasi
Kajian (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,  2005)  hal. 455.





adalah masalah menghadirkan alat  bukti tersebut, apakah dihadirkan       cukup   dengan     perangkat  lunaknya  (software) ataukah harus dengan perangkat kerasnya (hardware).
Sebagaimana  telah     dijelaskan   terlebih dahulu, bukti digital       tidak    dikenal    dalam   Hukum Acara     Pidana           Umum (KUHAP).  Namun,   untuk beberapa perbuatan    hukum            tertentu, bukti digital     dikenal dan  pengaturannya          tersebar pada beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Tentang  Dokumen    Perusahaan, Undang-undang     Tentang  Tindak Pidana Pencucian    Uang,  Undang-undang  Tentang         Kearsipan, Undang-undang Tentang    Tindak Pidana    Korupsi,         dan    Undang- undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi fokus penulisan ini.
Sebagai lex specialis, Undang-undang Nomor 15  Tahun

2003 memiliki kekhususan secara formil dibandingkan KUHAP. Salah      satu kekhususan tersebut yang  menjadi        fokus  dalam penulisan ini  adalah terkait penggunaan alat bukti yang merupakan pembaharuan proses pembuktian konvensional dalam KUHAP.         Pengaturan  mengenai alat bukti pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut terlihat dalam Pasal 27, yaitu sebagai berikut.








Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:
1. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara
Pidana;
2. alat  bukti lain  berupa  informasi yang  diucapkan, dikirimkan,            diterima,     atau   disimpan   secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
3. data, rekaman, atau informasi yang dapat     dilihat, dibaca,      dan/atau didengar,   yang dapat  dikeluarkan dengan    atau  tanpa    bantuan     suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas,         atau yang    terekam  secara   elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki         makna atau  dapat dipahami oleh  orang yang mampu membaca atau memahaminya.12



Alat bukti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan (3) Undang-undang  Nomor 15      Tahun  2003   tersebut  berdasarkan KUHAP tidak diakui sebagai alat bukti, tetapi berdasarkan doktrin    (ilmu     hukum)        dikategorikan  sebagai Barang  Bukti yang    berfungsi      sebagai   data penunjang bagi alat    bukti.13
Akan tetapi dengan adanya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003

ini, kedua alat bukti tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti       yang  sah  dan  mengikat  serta  memiliki  kekuatan pembuktian sama dengan alat bukti yang diatur dalam KUHAP.

12  Indonesia (a), op. cit., ps. 27.

13  Nasrullah, op. cit., hal. 16.





Meskipun  demikian,  prinsip  lex  specialis  derogat  legi generalis           tetap   berlaku.  Dengan    penafsiran secara a contrario,           dapat   diartikan hal  yang  tidak diatur  dalam ketentuan           khusus, dalam hal  ini Undang-undang Nomor  15
Tahun 2003, berlakulah ketentuan umum, dalam hal ini KUHAP.

Penelitian ini bertolak dari permasalahan penggunaan bukti digital (digital evidence) sebagai alat bukti tindak pidana terorisme di Indonesia. Objek dari penelitian ini adalah Source Code   atau Kode Sumber sebuah website yang merupakan media informasi teroris, yaitu website Al-Anshar dengan alamat  di      http://www.anshar.net. Dipilihnya kode sumber   sebagai   objek      penelitian dikarenakan kode     sumber adalah tampilan yang paling orisinal dari sebuah website. Segala   tampilan   yang ramah       pengguna atau  user   friendly interface dari sebuah website dibangun dari baris kalimat pada     kode   sumber  website       tersebut. Sehingga   apabila tampilan dari suatu website  mengandung      substansi yang merupakan   upaya terorisme, maka     harus           dilihat  dari kode sumber website tersebut. Selain itu, dari website tersebut kode sumber lah yang paling mungkin dijadikan alat bukti.
Situs www.anshar.net yang  diduga dibuat oleh  Agung

Setyadi, dosen salah satu perguruan tinggi di Semarang, dan





M.  Agung  Prabowo  Max  Fiderman  alias  Kalingga  alias Maxhaser,    mahasiswa       salah       satu      universitas di   kota     itu, dipakai untuk menyampaikan informasi terorisme atas pesanan Noordin M. Top sebagai media informasi perjuangannya.14
Isi dari informasi para teroris itu seputar materi-
materi  Tauziah  Syaikh  Mukhlas,  Tauhid, Jihad,  Wacana, Islamiah dan Askariah. Antara lain mengajarkan penyerangan dengan cara memanfaatkan antrean di jalan atau pintu masuk masuk atau      keluar       kantor,   pusat   perbelanjaan,   hiburan, olahraga,     hotel        dan  tempat  pameran. Sejumlah    lokasi, seperti        Ancol,       Planet    Hollywood    dan Jakarta         Hilton Convention Center (JHCC) serta Senayan Golf Driving Range.15

Kasus   tersebut  saat   ini   tengah   dalam   proses persidangan         di Pengadilan Negeri Semarang      dengan  Nomor Perkara 84/PID/B/2007 PN SMG. Hingga saat penelitian ini disusun,    kasus         tersebut     telah  mencapai    tahap  pembelaan (pledoi).






14      “Pengacara    TPM    Dampingi    Tersangka    Pembuat    Laman www.anshar.net”,           <http://www.antara.co.id/news>, diakses 1    November
2006.

15     “Lewat   Internet,   Imam   Samudera   Rancang   Pemboman,
http://www.e-biskom.com, diakses 1 November 2006.





Untuk  selanjutnya,  pembahasan  penelitian  ini  akan menjelaskan bagaimana kode sumber dari sebuah website dapat dijadikan alat        bukti. Penjelasan tersebut   akan  dikaitkan dengan     peraturan perundang-undangan      di Indonesia   yang memungkinkan          penggunaan        alat     bukti   digital   dalam persidangan, khususnya Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana       Terorisme.      Selain    itu dari penelitian ini akan terlihat sikap aparat penegak hukum, khususnya hakim dalam mempergunakan alat bukti yang ada.



B. Pokok Masalah



Berdasarkan  latar  belakang  yang  telah  diuraikan sebelumnya, dapat diambil tiga pokok masalah, yaitu:
1. Bagaimana  pengaturan  penggunaan  alat  bukti  berupa informasi           elektronik  dalam  Hukum      Acara  Pidana  di Indonesia?
2. Dapatkah sebuah kode sumber website dijadikan alat bukti di persidangan berdasarkan Pasal 27 Undang-undang Nomor
15  Tahun  2003  Tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana

Terorisme?





3. Bagaimana dalam  prakteknya penerapan ketentuan Hukum Acara Pidana Terhadap Informasi Elektronik (Source Code Website) di dalam Peristiwa Tindak Pidana Terorisme pada Kasus Website Anshar.net?



C. Tujuan Penelitian




Tujuan penulisan ini dibagi menjadi dua, yaitu tujuan penulisan secara umum dan tujuan penulisan secara khusus, adapun tujuannya sebagai berikut.



1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah memberikan gambaran penggunaan        informasi    elektronik sebagai alat bukti dalam acara pembuktian pada Hukum Acara Pidana di Indonesia. Hal ini untuk     mengakomodir         semakin   canggihnya tindak pidana yang     menggunakan        teknologi    informasi,    seperti cyberterrorism.








2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.

a.  Mengetahui pengaturan penggunaan bukti digital dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya undang-undang terkait hukum pidana.
b.  Mengetahui bagaimana  sebuah  kode  sumber  dijadikan

alat bukti dalam tindak pidana terorisme berdasarkan Pasal   27      Undang-undang    Nomor 15  Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
c.  Mengetahui penerapan bukti digital di dalam praktek persidangan terkait kasus website www.anshar.net.



D. Definisi Operasional




Dalam penulisan penelitian Kode Sumber (Source Code) Website Sebagai Alat Bukti di dalam Tindak Pidana Terorisme di Indonesia (Studi Kasus terhadap Website Al-Anshar.net) ini akan banyak digunakan istilah dalam bidang hukum dan bidang     komputer.          Untuk      menghindari  kesimpangsiuran pengertian         mengenai   istilah yang dipakai dalam penulisan





ini, berikut dijelaskan definisi operasional dari istilah tersebut:





Kode Sumber (Source Code) adalah:



The nonmachine language used by a computer programmer to  create    a       program.16      Source  code  (commonly just source or code) is any series of statements written in some human-readable computer programming language.17



Terjemahan           bebasnya adalah: Bahasa    non-mesin         yang digunakan oleh programer untuk menyusun suatu program. Kode sumber    adalah     serangkaian      pernyataan yang      ditulis       dalam bahasa program yang dipahami manusia.



Website adalah:




A website (or Web site) is a collection of web pages. A web page is a document, typically written in HTML, that is almost always accessible via HTTP, a protocol






16    Bryan A. Graner, Black’s Law Dictionary Eighth Edition (St. Paul: West Thomson, 2004).


17   Wikipedia  Online  Encyclopedia,  “Definiton  of  Source  Code,”





that transfers information from the website's server to display in the user's web browser.18



Terjemahan bebasnya      adalah.  Website  (atau Web  Site) sebuah kumpulan dari halaman web. Halaman web adalah sebuah dokumen        yang  biasanya ditulis  dalam  Hyper  Text  Markup Language (HTML) yang dapat diakses melalui protokol Hyper Text Transfer Protocol (HTTP) yang merupakan protokol untuk menyampaikan informasi dari    sebuah pusat   website  untuk ditampilkan dihadapan pengguna program pembaca website.



Terorisme  adalah:  The  use  or  threat  of  violance  to intimidate or cause panic, esp. as a means of affecting political conduct.19  Terjemahan bebasnya adalah, penggunaan atau upaya kekerasan untuk mengintimidasi atau menyebabkan kepanikan, khususnya dengan membawa dampak politik.














18  Retrieved from <http://en.wikipedia.org/wiki/Website>, diakses
23 Desember 2006.

19  Graner, op. cit.





Tindak  Pidana  Terorisme  adalah,  segala  perbuatan  yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.20



Bukti Digital adalah:

bukti  yang  di   dapat   dari             kejahatan         yang menggunakan  komputer         untuk  mengarahkan       suatu peristiwa pidana berupa data-data elektronik baik yang berada di dalam komputer itu sendiri (hard disk/floopy disk) atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain berupa jejak (path)
dari suatu aktivitas penggunaan komputer.21



Informasi Elektronik adalah:

Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data      elektronik  diantaranya  meliputi  teks, simbol,         gambar,   tanda-tanda, isyarat, tulisan, suara,          bunyi,   dan  bentuk-bentuk lainnya  yang telah diolah sehingga mempunyai arti.22



Alat bukti adalah alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 ayat     (1)  KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.23



20  Indonesia (a), op. cit., ps. 1 ayat (1).

21   Edmom  Makarim,  Pengantar  Hukum  Telematika:  Suatu  Kompilasi
Kajian (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,  2005),  hal. 455.

22   Indonesia (c), Rancangan Undang-undang Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, ps. 1 angka 3.

23  Indonesia (b), op. cit., ps. 184 ayat (1).





Pembuktian adalah:



ketentuan-ketentuan yang  berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang- undang untuk         membuktikan     kesalahan         yang didakwakan kepada terdakwa.24




Hukum Pidana adalah:



keseluruhan   dari    peraturan-peraturan   yang menentukan perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan  barangsiapa      yang    melanggar   peraturan- peraturan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.25




E. Metode Penelitian



Penelitian merupakan penelitian yang berdasarkan studi kepustakaan  yang   bersifat   yuridis-normatif,  artinya penelitian        hanya dilakukan      dengan  cara  meneliti  bahan pustaka        atau  data  sekunder yang  bersifat        hukum.26        Oleh





24  M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jilid II. Jakarta:  Pustaka Kartini, 1988., op. cit., hal. 793.

25   Andi  Hamzah,  Hukum  Acara  Pidana  Indonesia  Edisi  Revisi
(Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 53

26   Sri  Mamudji  et alMetode  Penelitian  dan Penulisan  Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 4-5.





karena itu, data yang digunakan adalah data sekunder yang didapatkan melalui studi dokumen.
Berkaitan   dengan   data  yang digunakan,    bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer,      sekunder, dan    tersier.  Bahan   hukum  primer  yang digunakan,    peraturan     perundang-undangan   seperti   Kitab Undang-undang        Hukum  Acara   Pidana,    dan     Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selanjutnya, bahan hukum  sekunder  yang       merupakan   bahan hukum yang  paling banyak  digunakan dalam    penelitian ini,  meliputi buku, artikel ilmiah, jurnal online        dari Pusat Data West Law, dan  makalah     terkait.         Bahan  hukum tersier  yang  digunakan antara  lain    kamus     Hukum    Black’s Law   Dictionary dan ensiklopedia online, antara lain wikipedia dan Encarta.
Tipologi penelitian yang  digunakan        dalam pembuatan laporan penelitian ini adalah penelitian berfokus masalah, yaitu      suatu  penelitian yang  mengaitkan penelitian murni dengan          penelitian     terapan.27    Dalam  penelitian   ini dijelaskan mengenai dasar teori pembuktian dan teori alat bukti sebagai ilmu murni dari hukum acara pidana dikaitkan




27  Ibid.





dengan penerapan alat  bukti  berupa informasi elektronik dalam      proses  beracaranya. Penelitian      ini  juga       merupakan penelitian yang dilakukan secara mono-disipliner, artinya laporan penelitian ini hanya didasarkan pada satu disiplin ilmu, yaitu ilmu hukum. Selanjutnya, metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif.



F. Sistematika Penulisan

Penelitian hukum ini terdiri dari lima bab. Pada bab pertama        akan dijabarkan mengenai     latar  belakang dilakukannya           penelitian,     tiga   pokok permasalahan dari penelitian,       tujuan dari  penelitian ini      baik tujuan   umum maupun       tujuan khusus, kemudian dijelaskan pula mengenai kerangka konsepsional yang berisi definisi operasional dari istilah dalam penelitian ini, serta metode penelitian.
Pada bab  kedua dari penelitian ini akan  dijabarkan mengenai pengertian tindak pidana terorsime yang meliputi pembahasan mengenai unsur tindak pidana dan subjek dalam tindak  pidana,    kemudian          membahas bagaimana  penerapan perumusan unsur tindak            pidana dan subjek pidana dalam Undang-undang Nomor      15           Tahun    2003.  Untuk   memperkaya pembahasan,     dalam        bab ini    juga  akan    dibahas   bagaimana





pengaturan dan perumusan tindak pidana terorisme dibeberapa negara,        antara  lain  di Australia dan Amerika Serikat. Pembahasan        selanjutnya  mengenai      terorisme   pada perkembangannya;                mencakup pembahasan mengenai cyberterrorism                 serta   terorisme           berbasis    teknologi informasi.
Sub bab terakhir dari bab dua ini adalah pembahasan hukum acara dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, yang meliputi       pembahasan    Proses Penyelidikan, Penyidikan, dan Upaya Paksa       Penangkapan,  Penahanan,        Penggeledahan, dan Penyitaan dalam Tindak Pidana Terorisme. Dalam sub-bab ini juga dibahas mengenai beban pembuktian, sistem pembuktian, dan alat bukti yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 15
Tahun 2003.

Bab tiga penelitian ini memiliki fokus pada pembahasan teknis,         yaitu  pembahasan  mengenai  kode    sumber, yang meliputi pembahasan mengenai macam bahasa pemerograman pada pembuatan            website,   pembahasan mengenai media penyimpanan (storage)           sebuah   website  pada  perusahaan  webhosting (webhosting         compay).  Dalam   bab     ini    juga akan    dijabarkan mengenai bukti digital, yang akan menjelaskan definisi dari bukti digital, serta bagaimana cara melakukan otentifikasi





terhadap bukti digital. Selanjutnya, pembahasan terakhir pada bab tiga adalah mengenai kode sumber yang dijadikan bukti digital.
Bab empat berisi analisis mengenai alat bukti dalam tindak       pidana terorisme terhadap penggunaan kode  sumber sebagai alat bukti berupa informasi elektronik dalam kasus website alanshar.net. Pada bab ini akan dilihat bagaimana penerapan kode sumber sebagai alat bukti berupa informasi elektronik    dalam   tindak  pidana       terorisme dikuatkan      oleh keterangan ahli, sebagai alat bukti, dan keterangan saksi dalam kaitan dengan alat bukti berupa informasi elektronik.
Bab lima merupakan bab terakhir dalam penulisan ini. Bab lima merupakan penutup penulisan yang berisi simpulan dari    keseluruhan    penelitian ini.    Selain     berisi simpulan, bab     lima juga    berisi     saran   yang diberikan   oleh   penulis terkait penyelesaian perakara pidana terorisme, khususnya terorisme yang melibatkan aspek Informasi Teknologi.

Dowload Selengkapnya disini

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar