BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights).1 Artinya, hak ini mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Hak tersebut juga menandakan setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mengambil hak hidupnya.

1 I Sriyanto dan Desiree Zuraida, Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001) hal. 1
protection the right of every person to their life. The article contains exceptions for the cases of lawful executions, and deaths as a result of "the use of force which is no more than absolutely necessary" in defending one's self or others, arresting a suspect or fugitive, and suppressing riots or insurrections.2
Pengecualian terhadap penghilangan hak hidup tidak mencakup pada penghilangan hak hidup seseorang oleh orang lainnya tanpa ada alas hak yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu contoh penghilangan hak hidup tanpa alas hak adalah pembunuhan melalui aksi teror. Aksi teror jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma agama. Teror juga telah menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi
manusia.3

2 European Convention on Human Rights, <http://en.wikipedia.org/ European_Convention_on_Human_Rights_files>, diakses 26 Desember 2006.
3 Abdul Wahid, Sunardi, Muhamad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum (Bandung: PT. Refika Aditama, 2004), hal. 2.
serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.4 Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yang termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.5
Aksi terorisme di Indonesia mencuat ke permukaan
setelah terjadinya Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, Peristiwa ini tepatnya terjadi di Sari Club dan Peddy’s Club, Kuta, Bali. Sebelumnya, tercatat juga beberapa aksi teror di Indonesia antara lain kasus Bom Istiqlal pada 19
April 1999, Bom Malam Natal pada 24 Desember 2000 yang

4 Indonesia, Undang-undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-undang, UU No. 15, LN. No. 45 Tahun
2003, TLN. No. 4284, Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme paragraf dua.(a)
5 Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Pembukaan Alinea ke-4.
Perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun yang sama.
Kembali pada kasus Bom Bali I. Aksi teror melalui peledakan bom mobil di Jalan Raya Legian Kuta ini semula direncanakan dilaksanakan pada 11 September 2002, bertepatan dengan peringatan setahun tragedi di Gedung World Trade Center New York, Amerika Serikat. Seperti diketahui, peristiwa 11 September 2002 ini mengawali “Perang Global” terhadap terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Kebijakan Amerika Serikat yang berat sebelah seperti pemunculan jargon “Jihad adalah Terorisme” dalam memerangi terorisme telah menjadi alasan beberapa kelompok teroris untuk melakukan perlawanan, salah satunya
dilakukan oleh Ali Imron, Ali Gufron, dan Amrozi.6

6 “Bom Bali Rencananya untuk Peringati Setahun Bom WTC”,
<http://www.kompas.com/kompas-cetak/0308/22/nasional/505322.htm>, diakses 7 Februari 2007.
melalui penegakan hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai.
Upaya ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang- undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga
(extraordinary measures).7 Undang-undang Nomor 15 Tahun

7 T. Nasrullah, Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-undang No. 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Makalah Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara” yang diadakan oleh Indonesia Police Watch bersama Polda Metropolitan Jakarta Raya, Selasa 29 Maret, hal. 3.
Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian merupakan suatu proses pencarian kebenaran materiil atas suatu peristiwa pidana. Hal ini berbeda jika dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata yang merupakan proses pencarian kebenaran formil. Proses pembuktian sendiri merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan.
Hukum acara pidana di dalam bidang pembuktian mengenal adanya Alat Bukti dan Barang Bukti, di mana keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan, seperti yang diatur Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)8 adalah:
a. keterangan saksi b. keterangan ahli c. surat

e. keterangan terdakwa
8 Indonesia, Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. 3209, ps 184. (b)
Pada perkembangannya, alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP tidak lagi dapat mengakomodir perkembangan teknologi informasi, hal ini menimbulkan permasalahan baru. Salah satu masalah yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi adalah lahirnya suatu bentuk kejahatan baru yang sering disebut dengan cybercrime, dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi
Arief disebut dengan tindak pidana mayantara.9 Secara garis
besar cybercrime terdiri dari dua jenis, yaitu kejahatan yang menggunakan teknologi informasi (TI) sebagai fasilitas dan kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas TI sebagai sasaran.10
Perkembangan teknologi dan perkembangan hukum telah

9 Abdul Wahid, dan Muhammad Labib, Kejahatan Mayantara
(Cybercrime), (Bandung: PT. Rafika Aditama 2005), hal. 26.
(hardisk/floppy disc) atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas pengguna komputer.11
Tentu saja upaya penegakan hukum tidak boleh terhenti
dengan ketidakadaan hukum yang mengatur penggunaan barang bukti maupun alat bukti berupa informasi elektronik di dalam penyelesaian suatu peristiwa hukum. Selain itu, proses mengajukan dan proses pembuktian alat bukti yang berupa data digital perlu pembahasan tersendiri mengingat alat bukti dalam bentuk informasi elektronik ini serta berkas acara pemeriksaan telah melalui proses digitalisasi dengan proses pengetikan (typing), pemeriksaan (editing), dan penyimpanan (storing) dengan menggunakan komputer. Namun, hasilnya tetap saja dicetak di atas kertas (printing process). Dengan demikian, diperlukan kejelasan bagaimana mengajukan dan melakukan proses pembuktian terhadap alat bukti yang berupa data digital.

11 Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi
Kajian (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) hal. 455.
adalah masalah menghadirkan alat bukti tersebut, apakah dihadirkan cukup dengan perangkat lunaknya (software) ataukah harus dengan perangkat kerasnya (hardware).
Sebagaimana telah dijelaskan terlebih dahulu, bukti digital tidak dikenal dalam Hukum Acara Pidana Umum (KUHAP). Namun, untuk beberapa perbuatan hukum tertentu, bukti digital dikenal dan pengaturannya tersebar pada beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Tentang Dokumen Perusahaan, Undang-undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-undang Tentang Kearsipan, Undang-undang Tentang Tindak Pidana Korupsi, dan Undang- undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi fokus penulisan ini.
Sebagai lex specialis, Undang-undang Nomor 15 Tahun
2003 memiliki kekhususan secara formil dibandingkan KUHAP. Salah satu kekhususan tersebut yang menjadi fokus dalam penulisan ini adalah terkait penggunaan alat bukti yang merupakan pembaharuan proses pembuktian konvensional dalam KUHAP. Pengaturan mengenai alat bukti pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut terlihat dalam Pasal 27, yaitu sebagai berikut.
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:
1. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara
Pidana;
2. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
3. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.12
Alat bukti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut berdasarkan KUHAP tidak diakui sebagai alat bukti, tetapi berdasarkan doktrin (ilmu hukum) dikategorikan sebagai Barang Bukti yang berfungsi sebagai data penunjang bagi alat bukti.13
Akan tetapi dengan adanya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003

12 Indonesia (a), op. cit., ps. 27.
13 Nasrullah, op. cit., hal. 16.
Meskipun demikian, prinsip lex specialis derogat legi generalis tetap berlaku. Dengan penafsiran secara a contrario, dapat diartikan hal yang tidak diatur dalam ketentuan khusus, dalam hal ini Undang-undang Nomor 15
Tahun 2003, berlakulah ketentuan umum, dalam hal ini KUHAP.
Penelitian ini bertolak dari permasalahan penggunaan bukti digital (digital evidence) sebagai alat bukti tindak pidana terorisme di Indonesia. Objek dari penelitian ini adalah Source Code atau Kode Sumber sebuah website yang merupakan media informasi teroris, yaitu website Al-Anshar dengan alamat di http://www.anshar.net. Dipilihnya kode sumber sebagai objek penelitian dikarenakan kode sumber adalah tampilan yang paling orisinal dari sebuah website. Segala tampilan yang ramah pengguna atau user friendly interface dari sebuah website dibangun dari baris kalimat pada kode sumber website tersebut. Sehingga apabila tampilan dari suatu website mengandung substansi yang merupakan upaya terorisme, maka harus dilihat dari kode sumber website tersebut. Selain itu, dari website tersebut kode sumber lah yang paling mungkin dijadikan alat bukti.
Situs www.anshar.net yang diduga dibuat oleh Agung
Setyadi, dosen salah satu perguruan tinggi di Semarang, dan
M. Agung Prabowo Max Fiderman alias Kalingga alias Maxhaser, mahasiswa salah satu universitas di kota itu, dipakai untuk menyampaikan informasi terorisme atas pesanan Noordin M. Top sebagai media informasi perjuangannya.14
Isi dari informasi para teroris itu seputar materi-
materi Tauziah Syaikh Mukhlas, Tauhid, Jihad, Wacana, Islamiah dan Askariah. Antara lain mengajarkan penyerangan dengan cara memanfaatkan antrean di jalan atau pintu masuk masuk atau keluar kantor, pusat perbelanjaan, hiburan, olahraga, hotel dan tempat pameran. Sejumlah lokasi, seperti Ancol, Planet Hollywood dan Jakarta Hilton Convention Center (JHCC) serta Senayan Golf Driving Range.15

14 “Pengacara TPM Dampingi Tersangka Pembuat Laman www.anshar.net”, <http://www.antara.co.id/news>, diakses 1 November
2006.
15 “Lewat Internet, Imam Samudera Rancang Pemboman,”
http://www.e-biskom.com, diakses 1 November 2006.
Untuk selanjutnya, pembahasan penelitian ini akan menjelaskan bagaimana kode sumber dari sebuah website dapat dijadikan alat bukti. Penjelasan tersebut akan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memungkinkan penggunaan alat bukti digital dalam persidangan, khususnya Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu dari penelitian ini akan terlihat sikap aparat penegak hukum, khususnya hakim dalam mempergunakan alat bukti yang ada.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil tiga pokok masalah, yaitu:
1. Bagaimana pengaturan penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia?
2. Dapatkah sebuah kode sumber website dijadikan alat bukti di persidangan berdasarkan Pasal 27 Undang-undang Nomor
15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme?
3. Bagaimana dalam prakteknya penerapan ketentuan Hukum Acara Pidana Terhadap Informasi Elektronik (Source Code Website) di dalam Peristiwa Tindak Pidana Terorisme pada Kasus Website Anshar.net?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan ini dibagi menjadi dua, yaitu tujuan penulisan secara umum dan tujuan penulisan secara khusus, adapun tujuannya sebagai berikut.
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah memberikan gambaran penggunaan informasi elektronik sebagai alat bukti dalam acara pembuktian pada Hukum Acara Pidana di Indonesia. Hal ini untuk mengakomodir semakin canggihnya tindak pidana yang menggunakan teknologi informasi, seperti cyberterrorism.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Mengetahui pengaturan penggunaan bukti digital dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya undang-undang terkait hukum pidana.
b. Mengetahui bagaimana sebuah kode sumber dijadikan
alat bukti dalam tindak pidana terorisme berdasarkan Pasal 27 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
c. Mengetahui penerapan bukti digital di dalam praktek persidangan terkait kasus website www.anshar.net.
D. Definisi Operasional
Dalam penulisan penelitian Kode Sumber (Source Code) Website Sebagai Alat Bukti di dalam Tindak Pidana Terorisme di Indonesia (Studi Kasus terhadap Website Al-Anshar.net) ini akan banyak digunakan istilah dalam bidang hukum dan bidang komputer. Untuk menghindari kesimpangsiuran pengertian mengenai istilah yang dipakai dalam penulisan
ini, berikut dijelaskan definisi operasional dari istilah tersebut:
Kode Sumber (Source Code) adalah:
The nonmachine language used by a computer programmer to create a program.16 Source code (commonly just source or code) is any series of statements written in some human-readable computer programming language.17
Terjemahan bebasnya adalah: Bahasa non-mesin yang digunakan oleh programer untuk menyusun suatu program. Kode sumber adalah serangkaian pernyataan yang ditulis dalam bahasa program yang dipahami manusia.
Website adalah:

16 Bryan A. Graner, Black’s Law Dictionary Eighth Edition (St. Paul: West Thomson, 2004).
17 Wikipedia Online Encyclopedia, “Definiton of Source Code,”
<http://en.wikipedia.org/wiki/Source_code>, diakses 23 Desember 2006.
that transfers information from the website's server to display in the user's web browser.18
Terjemahan bebasnya adalah. Website (atau Web Site) sebuah kumpulan dari halaman web. Halaman web adalah sebuah dokumen yang biasanya ditulis dalam Hyper Text Markup Language (HTML) yang dapat diakses melalui protokol Hyper Text Transfer Protocol (HTTP) yang merupakan protokol untuk menyampaikan informasi dari sebuah pusat website untuk ditampilkan dihadapan pengguna program pembaca website.

18 Retrieved from <http://en.wikipedia.org/wiki/Website>, diakses
23 Desember 2006.
19 Graner, op. cit.
Tindak Pidana Terorisme adalah, segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.20
Bukti Digital adalah:
bukti yang di dapat dari kejahatan yang menggunakan komputer untuk mengarahkan suatu peristiwa pidana berupa data-data elektronik baik yang berada di dalam komputer itu sendiri (hard disk/floopy disk) atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain berupa jejak (path)
dari suatu aktivitas penggunaan komputer.21
Informasi Elektronik adalah:
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik diantaranya meliputi teks, simbol, gambar, tanda-tanda, isyarat, tulisan, suara, bunyi, dan bentuk-bentuk lainnya yang telah diolah sehingga mempunyai arti.22

20 Indonesia (a), op. cit., ps. 1 ayat (1).
21 Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi
Kajian (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 455.
22 Indonesia (c), Rancangan Undang-undang Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, ps. 1 angka 3.
23 Indonesia (b), op. cit., ps. 184 ayat (1).
Pembuktian adalah:
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang- undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.24
Hukum Pidana adalah:
keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan barangsiapa yang melanggar peraturan- peraturan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.25
E. Metode Penelitian

24 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini, 1988., op. cit., hal. 793.
25 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi
(Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 53
26 Sri Mamudji et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 4-5.
karena itu, data yang digunakan adalah data sekunder yang didapatkan melalui studi dokumen.
Berkaitan dengan data yang digunakan, bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer yang digunakan, peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selanjutnya, bahan hukum sekunder yang merupakan bahan hukum yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini, meliputi buku, artikel ilmiah, jurnal online dari Pusat Data West Law, dan makalah terkait. Bahan hukum tersier yang digunakan antara lain kamus Hukum Black’s Law Dictionary dan ensiklopedia online, antara lain wikipedia dan Encarta.

27 Ibid.
dengan penerapan alat bukti berupa informasi elektronik dalam proses beracaranya. Penelitian ini juga merupakan penelitian yang dilakukan secara mono-disipliner, artinya laporan penelitian ini hanya didasarkan pada satu disiplin ilmu, yaitu ilmu hukum. Selanjutnya, metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian hukum ini terdiri dari lima bab. Pada bab pertama akan dijabarkan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian, tiga pokok permasalahan dari penelitian, tujuan dari penelitian ini baik tujuan umum maupun tujuan khusus, kemudian dijelaskan pula mengenai kerangka konsepsional yang berisi definisi operasional dari istilah dalam penelitian ini, serta metode penelitian.
Pada bab kedua dari penelitian ini akan dijabarkan mengenai pengertian tindak pidana terorsime yang meliputi pembahasan mengenai unsur tindak pidana dan subjek dalam tindak pidana, kemudian membahas bagaimana penerapan perumusan unsur tindak pidana dan subjek pidana dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003. Untuk memperkaya pembahasan, dalam bab ini juga akan dibahas bagaimana
pengaturan dan perumusan tindak pidana terorisme dibeberapa negara, antara lain di Australia dan Amerika Serikat. Pembahasan selanjutnya mengenai terorisme pada perkembangannya; mencakup pembahasan mengenai cyberterrorism serta terorisme berbasis teknologi informasi.
Sub bab terakhir dari bab dua ini adalah pembahasan hukum acara dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, yang meliputi pembahasan Proses Penyelidikan, Penyidikan, dan Upaya Paksa Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan dalam Tindak Pidana Terorisme. Dalam sub-bab ini juga dibahas mengenai beban pembuktian, sistem pembuktian, dan alat bukti yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 15
Tahun 2003.
Bab tiga penelitian ini memiliki fokus pada pembahasan teknis, yaitu pembahasan mengenai kode sumber, yang meliputi pembahasan mengenai macam bahasa pemerograman pada pembuatan website, pembahasan mengenai media penyimpanan (storage) sebuah website pada perusahaan webhosting (webhosting compay). Dalam bab ini juga akan dijabarkan mengenai bukti digital, yang akan menjelaskan definisi dari bukti digital, serta bagaimana cara melakukan otentifikasi
terhadap bukti digital. Selanjutnya, pembahasan terakhir pada bab tiga adalah mengenai kode sumber yang dijadikan bukti digital.
Bab empat berisi analisis mengenai alat bukti dalam tindak pidana terorisme terhadap penggunaan kode sumber sebagai alat bukti berupa informasi elektronik dalam kasus website alanshar.net. Pada bab ini akan dilihat bagaimana penerapan kode sumber sebagai alat bukti berupa informasi elektronik dalam tindak pidana terorisme dikuatkan oleh keterangan ahli, sebagai alat bukti, dan keterangan saksi dalam kaitan dengan alat bukti berupa informasi elektronik.
Bab lima merupakan bab terakhir dalam penulisan ini. Bab lima merupakan penutup penulisan yang berisi simpulan dari keseluruhan penelitian ini. Selain berisi simpulan, bab lima juga berisi saran yang diberikan oleh penulis terkait penyelesaian perakara pidana terorisme, khususnya terorisme yang melibatkan aspek Informasi Teknologi.
Dowload Selengkapnya disini
0 komentar:
Posting Komentar