RSS

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL PASCA KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ATAS UU NO. 22 TAHUN 2004


BAB I

PENDAHULUAN




A.     Latar Belakang

Yang merupakan salah satu persyaratan mutlak atau conditio sine qua non dalam sebuah  negara yang berdasarkan hukum adalah pengadilan yang mandiri, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Hanya pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi, dan peran hakim  menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya.
Melalui  putusannya,  seorang  hakim  dapat  mengalihkan  hak  kepemilikan seseorang,   mencabut  kebebasan  warga  negara,  menyatakan  tidak  sah  tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang. Oleh sebab itu, semua kewenangan yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka  menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan  orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya  di depan  hukum  dan  hakim.  Kewenangan  hakim  yang  sangat  besar  itu  menuntut tanggungjawab yang tinggi, sehingga  putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti
bahwa   kewajiban    menegakkan    hukum,    kebenaran    dan   keadilan    itu    wajib


1




dipertanggung-jawabkan  secara  horizontal  kepada  semua  manusia,  dan  secara

vertikal dipertanggung-jawabkan  kepada  Tuhan Yang Maha Esa.1

Seperti  kita  ketahui  bahwa  setiap  profesi  termasuk  hakim  menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman para profesional untuk menyelesaikan dilema etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembanan profesinya sehari-hari. Etika merupakan norma-norma yang dianut oleh kelompok,  golongan  atau  masyarakat  tertentu  mengenai  perilaku  yang  baik  dan buruk. Dan etika merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai norma-norma yang terwujud dalam perilaku hidup manusia, baik secara pribadi atau kelompok.
Sistem etika bagi profesional dirumuskan secara konkret dalam suatu kode etik profesi yang secara harafiah berarti etika yang ditulis. Kode etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukkan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu dalam  masyarakat. Tujuan kode etik ini adalah menjunjung tinggi martabat profesi atau seperangkat kaedah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi.
Keberadaan suatu pedoman etika dan perilaku hakim sangat dibutuhkan dalam rangka  menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pedoman etika dan perilaku hakim merupakan inti yang melekat pada  profesi hakim, sebab ia adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Oleh karena


1  Pembukaan rancangan pedoman etika dan perilaku Hakim, http://www.hukumonline.com/artikel/html, 24 juli 2006.




itu, hakim  dituntut  untuk  berintegritas  dan  professional,  serta  menjunjung  tinggi pedoman  etika  dan  perilaku  hakim.  Profesionalisme  tanpa  etika  menjadikannya “bebas  sayap (vluegel  vrij)   dalam  arti  tanpa  kendali  dan  tanpa  pengarahan. Sebaliknya,  etika  tanpa  profesionalisme  menjadikannya  lumpuh  sayap (vluegel lam) dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak.2
Pelanggaran atas suatu pedoman etika dan perilaku hakim itu tidaklah terbatas

sebagai masalah internal badan peradilan, tetapi juga merupakan masalah masyarakat dan pencari keadilan. Akan tetapi untuk mewujudkan suatu pengadilan sebagaimana dikemukakan di atas tidaklah mudah karena adanya berbagai hambatan. Hambatan itu antara lain timbul dari dalam badan peradilan sendiri terutama yang berkaitan dengan kurang efektifnya pengawasan internal, dan cenderung meningkatnya berbagai bentuk penyalah-gunaan wewenang oleh hakim.
Padahal  sebagai  pelaksana  utama  dari  fungsi  pengadilan,  hakim  harus berintegritas   dan  profesional,  serta  membutuhkan  kepercayaan  masyarakat  dan pencari  keadilan  dalam  melaksanakan  tugas  dan  wewenangnya.  Salah  satu  hal penting yang disorot masyarakat untuk  mempercayai hakim, adalah perilaku dari hakim yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya. kehormatan dan keluhuran martabat berkaitan erat dengan sikap dan perilaku yang berbudi pekerti luhur. Budi pekerti luhur adalah sikap dan perilaku





2  Ibid




yang didasarkan kepada kematangan jiwa yang diselaraskan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat.
Orang   yang   berbudi   pekerti    luhur    dalam    bertindak   dan    berperilaku menggunakan perasaan, pemikiran, dan dasar pertimbangan yang jelas, dalam arti ada dasar yang  mengatur dan berdasarkan akal sehat. Keluhuran menunjukkan bahwa profesi  hakim  adalah  suatu  kemuliaan,  atau  profesi  hakim  adalah  suatu  officium nobile. Bila suatu profesi terdiri dari  aspek-aspek (1) organisasi profesi yang solid, (2)  standar  profesi,  (3)  etika  profesi,  (4)  pengakuan  masyarakat,  dan  (5)  latar belakang pendidikan                  formal,          maka  suatu        profesi   officium          nobile     terutama berlandaskan                       etika          profesi    dan   pengakuan    masyarakat.    Sedangkan   martabat menunjukkan tingkat hakekat kemanusiaan, sekaligus harga diri. Sedangkan perilaku dapat  diartikan  sebagai  tanggapan  atau  reaksi  individu  terhadap  rangsangan  atau lingkungan.   Perilaku     hakim          dapat       menimbulkan  kepercayaan,  tetapi    juga
menyebabkan ketidak-percayaan masyarakat kepada putusan pengadilan3.

Sejalan dengan dengan hal tersebut,  hakim dituntut untuk selalu  menjaga dan menegakkan   kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka menegakkan hukum,   kebenaran dan keadilan  berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itulah dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia di bentuk sebuah Komisi  Yudisial  agar  warga  masyarakat  diluar  struktur  resmi  lembaga  parlemen dapat  dilibatkan  dalam  proses  pengangkatan,  penilaian  kinerja  dan  kemungkinan pemberhentian  hakim.  Hal  ini  dimaksudkan  untuk  menjaga  dan   menegakkan
3  Ibid.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar